X
    Categories: Berita

Cerpen Air Mata Hujan

Cerpen Air Mata Hujan

Air Mata Hujan

Oleh : Novita Sari

Ada saatnya seseorang merasa hidup seperti bukan miliknya lagi. Ketika berusaha menjalani hidup sesuai keinginan, saat itu pula direnggut. Dan akhirnya sirna. Meninggalkan bekas yang memilukan pada mereka yang menyaksikan.
Ketika itu, pertama kali aku melihatnya bukanlah kesan yang baik. Remaja laki-laki berkulit hitam. Sebut saja namanya Jeck. Siswa SMK yang hiperaktif dan selalu membuat ulah kemana pun ia berada di lingkungan sekolah. Sebenarnya banyak sekali murid yang menguji kesabaranku selama menjadi pendidik, tetapi kisah Jeck yang amat membekas di hati.
Seperti hari-hari biasa, Jeck melakukan kekhilafan lagi bersama teman-temannya. Merokok di lingkungan sekolah, melawan guru, bertengkar dengan teman. Sudah kesekian kalinya guru menegur, mengingatkan, namun kesekian kali pula ia melakukan kesalahan yang sama.
Saat itulah diputuskan memanggil orang tua Jeck karena dianggap dapat menemukan solusi terbaik. Kerjasama antara guru dan orang tua dalam mendidik Jeck. Barangkali hal ini bisa berhasil, pikirku.
Setelah percakapan lewat telepon berakhir, tidak lama Ayah Jeck datang ke kantor dengan amarah yang menggebu dan suara yang lantang. Siapa sangka, ia mencari anaknya seakan ingin menerkam saja.
Melihat hal itu, Jeck langsung bersembunyi di balik pintu di ruang sebelah. Wajahnya yang gelap seketika pucat pasih. Dirinya yang selalu ingin terlihat kuat, berubah bak anak kecil yang lemah. Matanya berkaca-kaca.
Saat itu, Jeck memberanikan diri menjumpai Ayahnya. Belum sempat ia bicara, tamparan dan tendangan melayang di tubuh Jeck. Tak luput caci maki menghujam telinga. Melihat itu, guru-guru yang saat itu berada di kantor mencoba melerai mereka. Termasuk aku.
Air mata Jeck tak sanggup lagi dipendam. Terus saja bercucuran. Sementara sang Ayah masih pitam.
Berkali-kali kami mencoba menenangkan. Membuat suasana menjadi dingin dan nyaman. Cukup lama, namun akhirnya dapat menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan.
Semalaman pikiranku tak tenang. Peritiwa itu masih segar diingatan. Ribuan pertanyaan dan kekhawatiran terus bermunculan.
Pagi itu di sekolah, aku melihat Jeck tidak seperti biasanya. Ia berdiam di balkon depan kelas. Memandang kosong ke arah lapangan. Kucoba mendekatinya. Menanyai apa yang ia lakukan setelah pulang sekolah kemarin. Beruntung, Jeck anak yang terbuka. Tetapi, begitu terkejutnya aku ketika mendengar cerita Jeck.
Sepulang sekolah kemarin, Jeck langsung pulang ke rumah. Ketika di rumah, Ayahnya kembali memukuli Jeck. Melontarkan kata-kata kasar dan bahkan tidak mengijinkan Jeck masuk ke dalam rumah.
Saat itu gerimis. Ayahnya meminta Jeck berdiri di depan rumah. Semalaman. Merenungkan perbuatannya yang dianggap menyusahkan orang tua.



Malam semakin dingin. Hujan semakin deras mengguyur tubuh Jeck. Dengan perut kosong, ia berdiri seorang diri menahan perih. Bisa jadi tangisnya disapu hujan sehingga ia terlihat baik-baik saja. Namun nyatanya pipi dibanjiri perih yang teramat.
Jeck menjadi anak nakal karena bosan terus menerus dibandingkan dengan saudaranya yang sifatnya lebih baik dan lebih pintar darinya. Orang tuanya selalu menuntutnya mengikuti jejak saudaranya. Hal itu membuatnya tidak leluasa dan putus asa. Hingga akhirnya Jeck merasa dirinya tidak lagi berguna bagi keluarga.
Bersama seorang rekan kerja, kami mendatangi rumah Jeck. Melakukan kunjungan untuk membicarakan Jeck.
Awalnya, Ayah Jeck tercengang melihat kami datang. Namun ekspresinya tidak seperti sebelumnya. Sambutannya kepada kami begitu hangat. Ia mempersilahkan kami masuk.
Setelah aku menyampikan apa yang dirasakan Jeck, menceritakan kembali apa yang Jeck ceritakan padaku pagi tadi, Ayah Jeck menangis.
Ayahnya menyadari bahwa ia telah salah dalam mendidik Jeck. Sebenarnya tak sedikit pun berniat menyakiti Jeck. Ayah Jeck berharap kalau Jeck bisa tumbuh menjadi anak yang hebat, membanggakan seperti saudaranya yang lain.
Seminggu setelah kunjungan itu, Jeck terlihat lebih baik. Ia menjadi anak yang lebih bisa diarahkan. Namun, lagi-lagi hal itu tidak bertahan lama. Ketika ia bermasalah, ia mengharapkan pembelaanku. Namun karena prosedur yang harus dijalani, aku memintanya menyelesaikan masalah dengan guru yang bersangkutan terlebih dahulu. Tetapi akibatnya benar-benar luar biasa. Ia marah dan mengancam membunuhku. Pada hari yang bersamaan, dua orang polisi datang memberi surat undangan. Jeck dan temannya merasa ketakutan, menganggap polisi itu datang karena panggilanku. Spontan suasana yang menegangkan menjadi lelucuan. Mereka langsung saja meminta maaf dan menangis ketakutan. Saat itu aku menyadari bahwa mereka sebenarnya hanya anak-anak yang keliru, yang seharusnya mendapat arahan lebih baik. Bahkan mereka sebenarnya belum memahami apa yang mereka lakukan itu dapat berdampak baik atau tidak.



Sumber : Mading SMPS Kasih Maitreya Tahun 2018

Tulisan yang ditampilkan dalam artikel ini dibuat oleh siswa SMPS Kasih Maitreya dan dilindungi oleh hak cipta. Dilarang menyalahgunakan/menggunakan/mencetak/menciplak seluruh isi atau sebagian, dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari pihak pembuat konten maupun dari Sekolah Kasih Maitreya.

Sekolah Kasih Maitreya:
Related Post