Tangis Di Bawah Hujan
Oleh : Novita Sari
Ada saatnya seseorang merasa hidup seperti bukan miliknya lagi. Ketika berusaha menjalani hidup sesuai keinginan, saat itu pula direnggut. Dan akhirnya sirna. Meninggalkan bekas yang memilukan pada mereka yang menyaksikan.
Ketika itu, pertama kali aku melihatnya bukanlah kesan yang baik. Anak laki-laki berkulit hitam, sebut saja namanya Jeck.
Jeck, siswa remaja yang hiperaktif dan selalu membuat ulah kemana pun ia berada di lingkungan sekolah.
Sebenarnya banyak sekali murid yang menguji kesabaranku selama mengajar di sini. Dan Jeck salah satunya.
Seperti hari-hari biasanya, Jeck melakukan kekhilafan lagi bersama teman-temannya. Merokok di lingkungan sekolah.
Sudah kesekian kalinya guru menegur, mengingatkannya, namun kesekian kali pula ia melakukan kesalahan lagi.
Saat itulah aku memutuskan memanggil orang tuanya untuk mengajak bekerjasama dalam mendidik Jeck. Barangkali hal ini bisa berhasil, anggapku.
Tidak lama Ayah Jeck datang ke kantor. Namun dengan amarah yang menggebu. Siapa sangka, ia mencari anaknya dengan penuh amarah.
Jeck yang biasanya bersikap keras dan pelawan, seketika ketakutan hingga membuatnya bersembunyi di ruang lain.
Berharap, ketika Ayah dan Anak diperjumpakan di depan para guru, maka akan menemukan penyelesaian. Namun siapa sangka, dengan cepat, tamparan, tendangan, dan cacian melayang di tubuh Jeck.
Wajah pelawan itu seketika berubah menjadi wajah polos yang meminta pertolongan. Meminta perlindungan di balik air mata yang bertumpahan.
Jelas saja, hati ini berkecamuk melihat peristiwa itu. Berkali-kali kucoba melerainya, namun dengan tubuh kecilku ini tak berdaya untuk menyela. Melalui delapan guru lain yang,
Dengan dibantu beberapa guru, akhirnya sang Ayah mulai dapat menenangkan diri.
Semalaman pikiranku dipenuhi ingatan kejadian itu. Seolah telah membekas yang teramat. Entah mengapa hati ini terus saja gelisah.
Esoknya di sekolah, aku menjumpai Jeck. Mengajaknya berbincang-bincang ringan. Dan benar saja, Jeck dihukum bermandi hujan semalaman di depan rumahnya. Dengan mata berkaca-kaca, ia menganggap bahwa dirinya tidak berguna bagi keluarganya. Sering sekali orang tuanya membandingkan dirinya dengan saudaranya yang lebih baik dari Jeck.
Di hari yang sama, aku mendatangi kediaman keluarga Jeck, dengan didampingi seorang guru. Ketika berjumpa dengan Ayahnya, aku menceritakan semua isi hati Jeck. Siapa sangkah, Ayahnya menangis mendengar pernyataanku. Seolah menyesali perbuatannya. Perlakuannya yang salah terhadap Jeck ternyata membuat Jeck menjadi anak yang lain di mata sang Ayah.
Seminggu setelah kunjungan itu, Jeck terlihat lebih baik. Ia menjadi anak yang lebih bisa diarahkan. Namun, lagi-lagi hal itu tidak bertahan lama. Ketika ia bermasalah, ia mengharapkan pembelaanku. Namun karena prosedur yang harus dijalani, aku memintanya menyelesaikan masalah dengan guru yang bersangkutan terlebih dahulu. Tetapi akibatnya benar-benar luar biasa. Ia marah dan mengancam membunuhku. Pada hari yang bersamaan, dua orang polisi datang memberi surat undangan. Jeck dan temannya merasa ketakutan, menganggap polisi itu datang karena panggilanku. Spontan suasana yang menegangkan menjadi lelucuan. Mereka langsung saja meminta maaf dan menangis ketakutan. Saat itu aku menyadari bahwa mereka sebenarnya hanya anak-anak yang keliru, yang seharusnya mendapat arahan lebih baik. Bahkan mereka sebenarnya belum memahami apa yang mereka lakukan itu dapat berdampak baik atau tidak.
Sumber : Mading SMPS Kasih Maitreya Tahun 2018
Tulisan yang ditampilkan dalam artikel ini dibuat oleh siswa SMPS Kasih Maitreya dan dilindungi oleh hak cipta. Dilarang menyalahgunakan/menggunakan/mencetak/menciplak seluruh isi atau sebagian, dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari pihak pembuat konten maupun dari Sekolah Kasih Maitreya.