Pergi Tiada Pulang, Rindu
Oleh : Jenny, Editor : Novita Sari
“Udahlah, Kak. Lisa gak mau balik. Lisa sibuk”, ucap perempuan di hadapanku. Cuek.
“Keterlaluan kamu, Lis! Udah 9 tahun kamu gak lihat Nenek!” ujarku geram.
“Kakak khawatir Nenek kenapa-napa. Suaranya kedengaran gak kayak biasanya!”
“Kakak berlebihan. Aku lebih kenal Nenek. Di usianya yang begitu kalau ditinggal di hutan pun binatang buas bisa lari ketakutan!” ucapnya datar.
Pikiranku kalut. Melihatnya bersikap biasa saja membuatku emosi. Tapi karena aku menyayanginya, marah pun aku tak sanggup.
Aku memegang erat dompet anyaman dari daun kering yang dikirimkan Nenek setahun lalu. Bagus dan sangat rapi. Tampak Nenek membuatnya sepenuh hati.
Pikirku langsung mengingat masa itu. Masa di mana pertama kali aku bertemu dengan anak nakal ini dan Neneknya.
Di sore yang mendung, langit tampak gelap. Aku duduk di bawah pohon yang rindang sambil melukis pemandangan.
Tiba-tiba, aku melihat seorang gadis kecil yang duduk tidak jauh dari tempatku berada. Ia menangis. Kedua tangannya menutupi wajah.
Aku menatapnya dengan mata sipitku. Karena penasaran, aku bangkit mendekatinya.
“Hallo? Kamu sedang apa?” tanyaku penasaran
Ia terkejut mendengar suaraku dan terperanjat dari tempatnya semula.
Aku melihat air matanya berlinangan. Bertambah penasaran, aku langsung bertanya “Kenapa menangis?”
Karena malu, cepat-cepat ia menghapus air mata yang mengalir di wajahnya. Matanya yang indah dan berkaca-kaca memandangku lekat.
“Jangan khawatir, aku gak jahat kok! Aku cuma khawatir sama kamu”, jelasku takut ia salah paham.
“Ka… kak… siapa?” tanyanya kebingungan.
“Aku Anissa. Kalau boleh tau, siapa nama gadis kecil nan cantik ini?” tanyaku balik.
“Namaku… Lisa”, jawabnya gugup.
“Salam kenal Lisa…” ujarku sambil tersenyum dan mengulurkan tangan.
Kami banyak berbincang-bincang. Lisa bercerita banyak hal padaku. Ia cepat berganti suasana hati. Gadis yang menyenangkan. Dan aku semakin menyukai gadis kecil berambut indah itu.
Mulai hari itu aku menganggapnya teman baik. Kami sering berjumpa di jam dan tempat yang sama. Kami janji bertemu tiap hari sampai waktu libur sekolahku berakhir.
Kami bermain ayunan yang menggantung di pohon tua tempat biasa aku duduk sambil melihat pemandangan. Tempat biasa aku menuangkan keluh kesah dan isi perasaan. Kami bahkan sering melukir dan bercerita banyak hal.
Hujan menyambut kebahagiaan kami siang itu. Tanpa berpikir ulang, kami langsung menari kegirangan. Menikmati berkah Tuhan, sambil bermain lumpur dan kubangan.
Tanpa sadar, sebuah akar pohon menonjol ke permukaan tanah. Lisa berlari kearahnya dan terjatuh. Kaki mungilnya terluka cukup parah. Darah segar mengalir deras, kemudian tersapu air hujan.
Aku langsung menolongnya. Membalut lukanya untuk menghentikan pendarahan, menggunakan sapu tangan yang selalu kubawa di kantung celana. Lisa meringis pedih. Karena tubuhnya lebih kecil dariku, aku menggendongnya. Cukup ringan.
Sambil berjalan, aku menghiburnya dengan senandung lagu yang biasa kami nyanyikan saat berayun di bawah pohon. Lisa mulai mengikuti nyanyianku. Semakin lama kami bersenandung, semakin riang.
Sampailah kami di depan sebuah pondok kecil. Lisa berhenti memberi arah tepat di depan pondok tersebut.
Inikah rumah Lisa? Tanyaku dalam hati. Aku hanyut dalam kebingungan dan kesedihan melihat rumah yang bahkan tidak layak untuk dihuni.
“Udah, kak. Kita sampai.”
Tanpa bertanya, aku langsung menurunkan Lisa dan mengikutinya.
Ini pertama kalinya aku datang ke rumah Lisa sejak dua minggu lamanya kami saling mengenal. Aku gugup dan canggung.
Pintu dibuka dari dalam. Seorang Nenek berwajah sayu dan senyum indah mempersilahkan kami masuk. Walau sudah tua, terlihat fisiknya masih bugar.
“Nek, ini Kak Anissa”, ujar Lisa memperkenalkan.
Nenek tersenyum, memintaku duduk setelah ia menggelar tikar. Tikar itu terlihat sederhana, tapi bagus. Seperti buatan tangan yang terampil.
“Jadi kamu toh yang namanya Nisa…” ucap nenek sembari tersenyum.
“Ia nek…” jawabku malu.
“Lisa sering cerita tentang kamu, nak… ternyata kamu lebih cantik dilihat langsung. Nenek senang Lisa punya teman yang baik kayak kamu…” ucap Nenek memuji.
Nenek masuk ke dapur, kembali membawa sebuah ramuan yang baunya cukup menyengat tetapi enak.
“Oleskan ini di lukamu”, pinta Nenek kepada Lisa.
Lisa mematuhinya. Ia langsung mengoleskan obat tersebut di pinggir lukanya.
Nenek masuk ke dalam lagi. Kali ini ia kembali dengan membawa sebuah handuk lusuh tetapi harum. Tercium aroma khas dari bunga hutan yang tidak aku kenal. Sangat enak dan segar.
“Ini, Nak. Mandilah dulu. Bersihkan badanmu supaya gak masuk angin”, pinta nenek kepadaku.
Tanpa menjawab, langsung kuraih handuk itu, dan berjalan masuk ke kamar mandi. Di balik pintu, sepasang baju warna biru muda tergantung rapi. Nenek sudah menyiapkannya.
Aku nyaman di sini. Walau sederhana, rumah ini wangi dan bersih. Sangat berbeda jika dilihat dari luar.
Lisa yatim piatu sejak usia dua tahun. Nenek yang mengasuhnya. Ayah-Ibunya meninggal karena jatuh ke jurang saat mencari obat-obatan di dalam hutan. Suara Nenek menggema di kepalaku. Ucapannya terus terngiang. Terlihat sekali Nenek sangat menyayangi Lisa dan mengkhawatirkannya.
Dari kecil Lisa susah bergaul dan tak punya teman. Anak ini minder karena malu. Temannya sering mencela karena kami miskin. Mengingat kalimat Nenek sore tadi aku bertambah sedih.
Mungkin inilah alasan Lisa sering menangis seorang diri di atas bukit. Ia masih remaja. Sulit baginya menerima kenyataan yang pahit ini. Seandainya aku diposisinya, entah apa yang terjadi. Hatiku perih. Sedih.
Karena lelah berpikir, aku membaringkan badan di atas kasur. Mencoba memejamkan mata tapi tak bisa.
Sekali lagi otakku memaksa mengingat ucapan Nenek. Lisa Cuma tamat SD. Nenek tak sanggup biayai sekolahnya lebih tinggi.
Lisa anak yang cerdas dan terampil. Bahkan ketika melukis, ia lebih mahir dibandingkan aku yang sudah lama belajar.
Malam telah larut. Bergegas aku menemui Papa-Mama di kamar. Meminta sesuatu yang mungkin akan ditolak mereka. Tapi aku harus meyakinkan mereka.
Tok…Tok…Tok… pagi sekali aku mengetuk pintu rumah Lisa. Kali ini aku ditemani orang special. Mama-Papa.
Pintu dibuka. Terlihat wajah Lisa yang baru bangun. Sangat lucu. Rambut ikalnya berdiri tidak teratur, seperti rambut singa.
“Kak Nisa?!” tanya Lisa heran.
“Nenek ada?” tanyaku sumringah.
“Ada. Silakan masuk… Om-Tante juga datang…” ucap Lisa menebak tanpa aku perkenalkan Papa dan Mama.
“Eh, ada tamu…” ucap Nenek bingung. Ia langsung ke dapur dan kembali membawa tiga cangkir kopi hitam.
“Silahkan di minum”, pinta Nenek sembari tersenyum.
Aku langsung meminum tanpa sungkan. Papa-Mama juga. Entah kenapa kami melakukan sesuatu yang Nenek minta.
Aku merasa pesona dan wibawa Nenek sangat luar biasa. Pastilah ia wanita yang hebat saat masih muda.
“Nisa banyak cerita…” ujar Mama membuka pembicaraan. Ia meletakkan cangkir kopinya.
“Saya senang Nisa punya teman bicara lagi”, lanjut Mama.
“Sejak sahabatnya meninggal tiga bulan lalu, ia jadi anak yang tertutup dan pendiam. Nisa bahkan sering menghabiskan waktu menggambar pemandangan di bukit sendirian.” Sambung Mama. Matanya berkaca-kaca.
“Saya, Suami saya, dan Nisa sudah membicarakannya tadi malam. Kami sepakat mengadopsi Lisa menjadi adik Nisa. Itu pun kalau Nenek dan Lisa tidak keberatan”
Mama tanpa canggung langsung menyampaikan tujuan kami datang. Raut wajah Lisa sangat gembira. Tapi tidak dengan Nenek. Wajahnya tanpa ekspresi.
Nenek memandang wajah cucunya. Lama. Kemudian, ragu-ragu ia berkata, “Kalau… kalian bisa menjaganya dengan baik… kalau… Lisa bahagia… saya juga bahagia…”
Ketika itu, Nenek menerima baik keinginan kami, walau hatinya terasa berat.
Papa-Mama berusaha membujuk Nenek untuk ikut bersama kami. Meninggalkan gubuk dan tinggal bersama di Bandung. Tetapi Nenek menolak. Ia berat meninggalkan sejuta kenangan yang terlukis di setiap sudut ruangan.
Aku cemas. Terakhir kali ketika aku menelpon Nenek, suaranya berbeda. Seperti sedang sakit. Karena cemas, esoknya aku berangkat sendiri ke kampung, tempat Nenek tinggal.
Kesal. Sangat kesal. Berkali-kali aku membujuk Lisa untuk melihat Nenek, tapi alasannya karena disibukkan tugas kuliah.
Lisa terlalu menikmati kehidupannya sekarang sampai ia melupakan Nenek yang mengasuhnya sejak kecil.
Perjalananku panjang. Butuh waktu sehari semalam untuk sampai ke gubuk di pinggir hutan itu. Banyak jalan yang sudah berbeda. Dan sudah banyak rumah yang berdiri di sana.
Berkali-kali aku menanyakan kepada warga di mana rumah Nenek. Beruntung banyak yang mengenalnya.
Tok… Tok… Tok… kuketuk pintu gubuk yang hampir rubuh itu. Terdengar langkah pelan dari dalam. Berhenti tepat di depan pintu.
Terkejut. Sebuah mata mengintipku dari sela-sela pintu.
“Nenek?!” tanyaku memastikan.
“Lisa?!” suara parau terdengat keras dari dalam rumah. Ia cepat-cepat membukakan pintu.
Begitu pintu terbuka, wajah tua menatapku tajam. Matanya rabun. Tak lagi bisa mengenali orang. Tubuhnya membungkuk. Dan rambutnya sudah memutih semua, tak lagi tersisir rapi.
Aku langsung memeluk Nenek. Berbisik ketelinganya, “Ini Anissa, Nek…”
Air mataku mengalir deras, sulit dibendung setelah melihat keadaan Nenek yang sekarang. Dalam hati, aku benar-benar mengutuk Lisa yang sudah mengabaikan Nenek begitu lama.
“Anissa… oh anak baik…” ujar Nenek. Tangannya meraba-raba wajahku.
“Kamu pulang, Nak… mana Lisa? Nenek gak dengar suaranya…”
Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Nenek. Benar-benar tidak tega rasanya. Nenek yang dulu berwibawa dan penuh pesona, kini tua tak berdaya.
“Lisa gak pulang…” ujar Nenek pilu. Suaranya seperti tak lagi bertenaga.
“Besok Lisa pulang, Nek. Anissa sengaja datang lebih cepat karena udah rindu Nenek. Besok Lisa datang kok…” ucapku berbohong.
“Lisa akan datang saat Nenek gak ada lagi di sini”, ujar Nenek sembari tersenyum.
Hatiku benar-benar perih mendengar ucapan Nenek. Ia pasti sangat merindukan Lisa.
Sumber : Mading SMPS Kasih Maitreya Tahun 2018
Tulisan yang ditampilkan dalam artikel ini dibuat oleh siswa SMPS Kasih Maitreya dan dilindungi oleh hak cipta. Dilarang menyalahgunakan/menggunakan/mencetak/menciplak seluruh isi atau sebagian, dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari pihak pembuat konten maupun dari Sekolah Kasih Maitreya.